Ada 12 teori yang
mengungkapkan jenis perkembangan, yaitu; perkembangan motorik, perkembangan
bahasa, perkembangan kogintif, perkembangan kepribadian, perkembangan sosial,
perkembangan bermain, perkembangan seksual, perkembangan fisik, perkembangan
minat, perkembangan kreatifitas dan perkembangan emosi.
1. Perkembangan
motorik
Perkembangan motoric dapat
dikelompokkan menjadi dua aspek yang ditinjau dari perkembangan motorik kasar
dan motorik halus.
1) Perkembangan
motorik kasar
Beaty
memaparkan tentang kemampuan motorik kasar yang seyogyanya
dimiliki seorang anak usia dini yang berada pada rentang usia 4-6 tahun,
kompetensi tersebut dibagi menjadi 4 aspek, yaitu; (1) berjalan (walking) dengan indikator berjalan
turun/naik tangga dengan menggunakan dua kaki, berjalan pada garis lurus, dan
berdiri dengan satu kaki; (2) berlari (running)
dengan indikator menunjukkan kekuatan dan kecepatanberlari, membelok ke kanan
dan ke kiri tanpa kesulitan dan mampu berhenti dengan mudah; (3) melompat (jumping) dengan indikator mampu melompat
ke depan, ke belakang, dan ke samping dan; (4) memanjat (climbing) memanjat/ naik turun tangga, dan memanjat pohon.[1]
Keterkaitan antara kemampuan motorik
kasar dan kecerdasan jamak cukup relevan dengan kecerdasan kinestetik tubuh,
seperti yang dikemukakan oleh Martin
Jamaris bahwa kecerdasan jamak yang berkaitan erat dengan kecerdasan
kinestetik pada anak mencakup kemampuan anak dalam kepekaan dan keterampilan
dalam mengontrol dan mengkoordinasikan gerakan-gerakan tubuh serta terampil
dalam menggunakan perlatan-peralatan tertentu yang dimanfaatkan anak dalam
aktifitas bermainnya.[2]
2) Perkembangan
motorik halus
Menurut Beaty, perkembangan motorik halus pada anak mencakup kemampuan anak
dalam menunjukkan dan menguasai gerakan-gerakan otot indah dalam bentuk
koordinasi, ketangkasan, dan kecekatan dalam menggunakan tangan dan jemari.[3]
Untuk dapat mengembangkan
kemampuan motorik halus anak, guru dapat menggunakan beragam media. Seperti
yang dipaparkan oleh Bodrova dan Leong tentang manfaat yang diperoleh
anak melalui pemanfaatan instrumen untuk pengembangan motorik halus anak,
dengan pemanfaatan instrumen tertentu setidaknya membantu anak untuk mengulangi
perbuatannya tersebut sebagaimana orang dewasa yang ada di sekitarnya
memanfaatkan instrumen tersebut untuk suatu kegiatan.[4]
Kemampuan motorik halus anak perlu
dikembangkan agar menjadi matang karena kematangan kemampuan motorik halus anak
membantu mereka menanmkan citra diri yang positif dalam bentuk kepercayaan diri
dalam berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan.[5]
2. Perkembangan
bahasa
Awal perkembangan bahasa pada
dasarnya dapat diartikan sejak mulai adanya tangis pertama bayi. Tangis dapat
diartikan sebagai bahasa bayi atau anak karena tangis dapat mengekspresikan
kehendak jiwanya.
Menurut Lenneberg perkembangan
bahasa anak sesuai dengan jadwal biologisnya.[6]
Penguasaan bahasa pada periode
berikutnya akan secara berangsur terjadi pada dengan mengikuti ritme perkembangan
yang alami sehingga pada anak, bahasa dapat memenuhi fungsinya sendiri.
Ada beberapa fungsi bahasa yang
dikemukakan oleh para ahli, yaitu;
Fungsi
bahasa bagi seseorang yaitu:
1. Aspek
ekspresi: menyatakan kehendak dan pengalaman jiwa
2. Aspek
sosial: untuk mengadakan komunikasi dengan orang lain
Psikolog
ini mengemukakan 3 fungsi bahasa, yaitu:
1. Kungabe:
pemberitahuan atau dorongan untuk memberitahukan orang lain
2. Auslosung:
pelepasan atau dorongan kuat dari anak untuk melepaskan kata-kata sebagai hasil
peniruan orang lain
3. Darstellung:
mengungkapkan atau anak ingin mengungkapkan segala sesuatu yang menarik
perhatiannya
1. Bahasa
egosentris: melahirkan keinginan yang tertuju kepada dirinya sendiri
2. Bahasa
sosial: untuk berhubungan dengan orang lain
3. Perkembangan
kepribadian
Kepribadian adalah suatu
organisasi yang dinamis, yaitu organisasai yang terdiri dari sejumlah aspek
yang terus tumbuh dan berkembang sepanjang hidup manusia. Perkembangan
kepribadian sangat ditentukan oleh keluarga karena keluarga merupakan faktor utama
dalam perkembangan kepribadian anak.
Kepribadian meliputi semua pola
tingkah laku, kebiasaan, sikap, kecakapan, serta semua hal yang muncul dari
seseorang. Sebagian besar kepribadian terbentuk dan berkembang sebagai akibat
dari tempaan lingkungan dan keluarga.
Kepribadian
meliputi beberapa tipe, seperti yang dikemukakan oleh para ahli. Pertama tipe
kepribadian menurut Galenus ada 4
tipe pembagian yaitu: pertama tipe cholericus
yang dipengaruhi empedu kuning (tipe orang yang besar dan kuat tubuhnya, mudah
naik darah dan sukar mengendalikan diri). Tipe kedua adalah sanguinicus yang dipengaruhi darah (orang
dengan tipe ini wajahnya selalu berseri-seri, periang, dan berjiwa kekanakan).
Tipe fagmaticus yang dipengaruhi
lendis (pembawaan tenang, pemalas, pesimis, dan wajahnya selalu pucat), dan melancholicus dipengaruhi empedu hitam
(tipe orang yang selalu murung, dan mudah menaruh curiga).[10]
Menurut Heymans tempramen manusia berdasarkan 3 unsur sifat yang penting
yaitu: emosionalitas, aktivitas, dan fungsi sekunder.[11] Heymans juga membagi tipe kepribadian
manusia menjadi 7 macam, yaitu: gapasioneerden
(orang hebat), cholerici (orang
garang), sentimental (orang perayu), nerveuzen (orang penggugup), flegmaciti (orang tenang), sanguinici (orang kekanak-kanakan), amorfen (orang tak berbentuk).[12]
Menurut Spranger, ada 6 tipe watak manusia, yaitu; manusia teori, manusia
ekonomi, manusia sosial, manusia politik, manusia seni, dan manusia saleh.[13]
4. Perkembangan
moral
Menurut
Robert J. Havighurst, moral yang
bersumber dari adanya suatu tata nilai atau suatu objek rohani atas suatu
keadaan yang diinginkan.[14]
Oleh karena itu, perkembangan moral seorang anak sangat berkaitan erat dengan
perkembangan sosialnya disamping pengaruh kuat dari perkembangan fikiran,
perasaan serta kemauan atas hasil tanggapan dari anak.
Bagi
seorang anak, pengembangan moral akan dikembangkan melalui pemenuhan kebutuhan
jasmaniah untuk selanjutnya dipolakan melalui pengalaman dalam lingkungan
keluarga sesuai dengan nilai-nilai yang diberlakukannya. Oleh karena itu, letak
utama peran ibu sebagai orang yang paling dekat dalam memberikan dasar pola
pengembangan moral anak selanjutnya.
Tata
nilai perkembangan moral anak dapat dijelaskan sebagai berikut:
Usia
1 tahun- 4 tahun: ukuran baik buruk bagi seorang anak tergantung dari apa yang
dikatakan oleh orang tua. Meskipun anak belum tahu perbedaan baik dan buruk
itu, karena pada saat itu anak belum mampu menguasai dirinya. Usia 4 tahun- 8
tahun: ukuran tata nilai anak adalah dari yang lahir (realitas), anak belum
dapat menafsirkan hal yang tersirat dari sebuah perbuatan. Usia 8 tahun -13
tahun: anak sudah dapat mengetahui ukuran baik, buruk secara batin meskipun
masih terbatas. Usia 13 tahun-19 tahun: seorang anak sudah mulai sadar betul
akan sebuah tata nilai. Anak akan patuh ataupun melanggar tat nilai berdasarkan
pemahamannya terhadap konsep tata nilai yang diterima.[15]
5. Perkembangan
sosial
Menurut Harlock, perkembangan sosial merupakan perolehan kemampuan berprilaku
yang sesuai dengan tuntunan sosial. Sosialisasi adalah kekmapuan bertingkah
laku sesuai dengan norma, niali atau harapan sosial.[16]
Dalam hal ini, anak mulai belajar
mengembangkan kemampuan sosial dalam bentuk ; (a) bertingkah laku sesuai dengan
harapan lingkungan; (b) belajar memainkan peran sosial dalam aktifitas dengan
teman sebaya; dan (c) tidak lupa anak juga mengembangkan sikap/tingkah laku
sosialterhadap individu lain dan aktifitas sosial yang berada di masyarakat.[17]
Menurut Buhler, tingkatan perkembangan sosial anak terbagi menjadi 4
tingkatan, yaitu:
1)
Tingkatan pertama dimulai dari umur
0;4/06;0 tahun, anak mulai mengadakan reaksi positif terhadap orang lain,
antara lain ia tertawa mendengar suara orang lain. Anak menyambut pandangan
orang lain dengan pandangan kembali, dan lain-lain.[18]
2)
Tingkatan kedua, adanya rasa bangga dan
sengan yang terpancar dalam gerak dan mimiknya, jika anak tersebut dapat
mengulangi yang lainnya. Tingkatan ini biasanya muncul pada usia anak ± 2 tahun
ke atas.[19]
3)
Tingkatan ketiga, jika anak lebih dari
usia ± 2 tahun, mulai timbul perasaan simpati (rasa setuju) atau rasa antipasti
(rasa tidak setuju) baik kepada orang yang sudah dikenalnya atau belum.[20]
4)
Tingkatan keempat, pada masa akhir
tahun kedua, anak telah menyadari akan pergaulannya dengan anggota keluarga,
anak akan timbul keinginan untuk ikut campur dalam gerak dan lakunya.[21]
Selanjutnya
anak akan sudah mulai kaya akan pengalaman sosial, sehingga terkadang timbul
kesukaran orang tua untuk mengatur. Anak sudah mulai dapat berontak, melawan,
suatu ketika menjadi mudah keras kepala, cemburuan dan lainnya. Pada masa ini
juga termasuk ada di dalamnya masa kegoncangan pertama (footzalter I) pada diri anak, yakni pada umur ± 3-4 tahun.[22]
Perkembangan
sosial akan terus berlanjut sesuai dengan pengalaman anak, sihingga anak siap
unutk bergaul dengan yang lainnya secara baik dan wajar.
6. Perkembangan
kognitif
Perkembangan kognitif siswa
prasekolah terkait dengan kemampuan berfikir mereka berkembang. Berdasarkan
teori perkembangan kognitif yang dikembangkan oleh Piaget, usia dini berada pada tahapan senso motorik dan
praoperasional, yaitu periode pada saat anak belum mampu mengoperasionalkan
mental secara logik. Periode ini ditandai dengan berkembangnya represantional
atau symbolik system, yaitu kemampuan menggunakan sesuatu untuk
merepresentasikan sesuatu yang lain dengan menggunakan symbol berupa kata-kata,
gesture, dan benda.[23]
Faktor kognitif mempunyai peranan
penting bagi keberhasilan anak dalam belajar, karena sebgaian besar akitifitas
dalam belajar selalu berhubungan dengan maslah mengingat dan berfikir.
Perkembangan struktur kognitif berlangsung menurut urutan yang sama bagi semua
anak. Setiap anak akan melewati setiap tahapan, yang oleh piaget tahapan ini
disebut asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrium.[24]
Beaty
berasumsi bahwa anak mengembangkan kemampuan kognitifnya melalui kegiatan
bermain dengan tiga cara yaitu memanipulasi
(meniru) apa yang terjadi dan dilakukan oleh orang dewasa atau objek yang ada
di sekitar anak, mastery yaitu
menguasai suatu aktifitas dengan mengulangi suatu kegiatan yang tentunya
menjadi kesenangan dan memberikan kebermaknaan pada diri anak dan terakhir
adalah meaning yaitu memberikan
kebermaknaan pada diri anak sehingga menumbuhkan motivasi bagi anak dalam
melakukannya.[25]
Berdasarkan konsep yang diberikan
oleh Piaget, dapat terpotret bahwa
anak berada pada masa siap melakukan peralihan dari praoperasional kepada
operasional, tentunya stimulasi dari lingkungan yang semakin kondusif akan
semakin signifikan dalam membantu kematangan aspek kognitif anak, apalagi jika
orang tua dan sekolah mempunyai spirit untuk membantu pencapaian perkembangan
anak.[26]
7. Perkembangan
bermain
Bermain cukup penting bagi
perkembangan jiwa anak. Oleh karena itu perlu kiranya anak-anak diberi
kesempatan dan diberikan fasilitas bermain yang dapat membantu tumbuh kembang
anak.
Macam-macam permainan yang bisa
diberikan pada anak; permainan gerak atau permainan fungsi, permainan fantasia atau
peran, permainan receptive atau
meniru, dan permainan bentuk.[27]
Teori mengenai permainan (teori atavistis) dikemukakan oleh Stanley; bahwa permainan yang dilakukan
oleh anak adalah warisan dari kebiasaan nenek moyang yang bersifat
turun-temurun, dengan demikian kegiatan tersebut hanya merupakan pengulangan
kembali yang dilakukan oleh nenek moyang berabad-abad lalu.[28]
Menurut Groos, anak bermain itu suatu pendapat untuk keperluan kehidupannya
kelak. Menurut teori ilmu jiwa dalam bermain adalah sarana untuk menyalurkan
kompleks-kompleks terdesak yang ada pada bawah sadar dalam jiwa seseorang.[29]
8. Perkembangan
seksual
Tahap perkembangan seksual menurut
Freud adalah yang pertama tahapan
oral (0-1 tahun) dimana anak memperoleh kenikmatan yang bersumber pada
mulutnya. Kenikmatan ini seperti pada saat anak menyusu pada ibunya, namun fase
ini akan mengalami kemunduran karena ketidak puasan dan perasaan iri hati.
Reaksi dari kedua gejala perkembangan ini adalah seperti anak menghisap jempol
dan membandel.[30]
Tahapan yang kedua adalah tahapan
anal (1-3 tahun) dimana kepuasan anak terletak pada anus. Pada fase ini sangat
tepat jika diajarkan untuk disiplin pada anak, termasuk toilet training. Tahap
selanjutnya adalah tahap falik (3-5 tahun) masa dimana anak akan memindahkan kenikmatannya
pada daerah kelamin. Anak mulai tertarik pada anatomi antara laki-laki dan
perempuan.[31]
Tahap keempat adalah tahap latensi
(5-12 tahun), ini adalah masa tenang dimana anak akan mengalami perkembangan
pesat pada aspek motorik dan psikomotoriknya. Anak akan mencari sosok figure
ideal diantara orang dewasa yang berjenis kelamin sama dengannya. Tahapan
terakhir adalah fase genital (12 tahun ke atas), pada fase ini semua alat
reproduksi mulai matang dan kepuasannya terletak pada alat kelamin.[32]
9. Perkembangan
fisik
Salah satu aspek perkembangan yang
terjadi secara signifikan pada seorang anak adalah perkembangan fisik. Hurlock
menjelaskan bahwa secara umum perkembangan fisik anak usia TK mencakup 4 aspek;
(1) sistem saraf, yang sangat berkaitan erat dengan perkembangan kecerdasan dan
emosi; (2) otot-otot yang mempengaruhi perkembangan kekuatan dan kemampuan
motorik; (3) kelenjar endokrin yang menyebabkan munculnya pola-pola tingkah
laku baru, seperti pada usia remaja senang untuk aktif dalam suatu kegiatan;terkadang
anggotanya terdiri dari lawan jenis; dan (4)struktur fisik/tubuh yang meliputi
tinggi, berat, dan proporsi tubuh.
10. Perkembangan
minat
Minat anak ada beberapa macam
yaitu minat baca-tulis, minat seni dan musik. Pada dasarnya minat anak tergantung
pada keinginan anak itu sendiri, namun dapat juga dipengaruhi oleh faktor dari
luar diri anak. Menurut Mayer,
awalnya anak-anak tidak membedakan antara menggambar dan menulis karena
keduanya menyampaikan makna.[33]
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengembangkan minat baca-tulis anak
diantaranya adalah; berpura-pura menulis dengan gambar atau coretan, membuat
garis horizontal saat menuliskan coretan, menyertakan bentuk seperti huruf
dalam menulis, membuat beberapa huruf, mencetak nama atau inisial, memgang buku
di sisi kanan; membalik halaman dari kanan ke kiri, berpura-pura membaca
menggunakan gambar untuk bercerita, mengisahkan kembali cerita dari buku dengan
akurasi meningkat, dan menunjukkan kesadaran bahwa cetakan di buku mengisahkan
cerita.[34]
Menurut Hale dan Roy pada saat
kita mengajari anak-anak seni visual, kita sebenarnya tidak mengajari melainkan
kita sediakan pengalaman kaya, manipulative, dan konkrit bagi anak kecil.[35]
Membenatu anak dalam mengembnagkan kemampuan seni dan music adalah dengan cara;
membuat bentuk coretan dasar, menggabungkan lingkaran, persegi dengan garis
silang, menggabungkan objek di gambar, menggerakkan tungkai dan kaki ikuti nada
dan irama, menggerakan lengan dan tangan ikuti nada dan irama, memainkan alat musik,
dan menyanyi dalam kelompok atau sendirian.[36]
11. Perkembangan
kreatifitas
Kreatifitas
menurut Hubeck adalah keunikan yang
muncul didalam kepribadian seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungannya. [37]Pada
dasarnya kratifitas merupakan bagian dari kegiatan berproduksi atau berkarya.
Jadi kreatifitas dapat diartikan sebagai suatu kemampuan atau gagasan ketika
seseorang berinteraksi dengan lingkungannya.
Teori-teori
mengenai pengembangan kreatifitas:[38]
1) Teori
psikoanalisis yang beranggapan bahwa proses ketidaksadaran meladasi kreatifitas
2) Teori
assosiasionistik yang memandang kratifitas sebagai hasil dari proses asosiasi
dan kombinasi antara elemen yang sudah ada sehingga menghasilkan sesuatu yang
baru.
3) Teori
gestalt, memandang kreatifitas sebagai manifestasi dari proses tilikan individu
terhadap lingkungannya secara holistik
4) Teori
eksistensial yang mengemukakan bahwa kreatifitas merupakan proses untuk
melahirkan sesuatu yang baru melalui perjumpaan antara manusia dengan manusia
dan manusia dengan alam.
5) Teori
interpersonal yang menekankan pentingnya nilai dan makna dari suatu karya
kreatif
Kreatifitas
harus dikembangkan semejak dini karena dengan berfikir kreatif anak dapat
mempersiapkan diri untuk dapat bertindak dan melakukan berbagai penyelesaian
dalam berbagai permasalahan.
12. Perkembangan
emosi
Emosi didefinisikan sebagai
perasaan yang kuat berupa perasaan benci, takut, marah, cinta, senang dan juga
kesedihan. Goleman menyatakan bahwa
emosi merujuk kepada suatu perasaan atau fikiran-fikiran khasny, suatu keadaan
biologis dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak.[39]
Menurut James dan Lange, emosi
timbul karena pengaruh perubahan jasmaniah atau kegiatan individu, misalnya
menangis karena sedih dan tertawa karena bahagia.[40]
Menurut Watson, ada tiga pola dasar emosi yaitu takut, marah, dan cinta (fear, anger, love).[41] Emosi yang tampak pada diri anak biasanya
diekspresikan dalam kegiatan bermain berupa bentuk dominasi dan konsekuensi.
Dalam hal ini perlu menjadi perhatian bahwa emosi anak adalah bahwa pada
hakikatnya ekspresi emosi merupakan bentuk komunikasi anak dengan lingkungannya,
khususnya secara nonverbal.
Perkembangan
emosi anak membantu anak dalam memperoleh penilaian dari lingkungan berdasarkan
perilaku anak yang dimunculkannya tersebut, baik secara positif maupun negative
sehingga tidak menutup kemungkinan akan terbentuk suatu konsep diri, pada
posisi yang lain ekspresi emosi dapat mempengaruhi kondisi psikologis
lingkungan.[42]
[1]Uyu
Wahyudin dan Mubiar Agustin. Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini. Hal. 34
[2]
Uyu Wahyudin dan Mubiar Agustin. Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini. Hal. 34
[3]
Uyu Wahyudin dan Mubiar Agustin. Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini. Hal. 34
[4]
Uyu Wahyudin dan Mubiar Agustin. Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini. Hal. 35
[5]
Uyu Wahyudin dan Mubiar Agustin. Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini. Hal. 35
[6]
Enny Zubaidah, Draft Buku Pengembangan Bahasa Anak Usia Dini. Pendidikan Dasar
dan Prasekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.tt, Hal.
10
[7]
Abu Hamadi dan Munawar Sholeh. Psikologi Perkembangan.Hal. 95
[8]
Abu Hamadi dan Munawar Sholeh. Psikologi perkembangan. Hal. 95-96
[9]
Abu Hamadi dan Munawar Sholeh. Psikologi Perkembangan. Hal. 96
[10]
Abu Hamadi dan Munawar Sholeh. Psikologi perkembangan. Hal. 161
[11]
Abu Hamadi dan Munawar Sholeh. Psikologi Perkembangan. Hal. 161
[12]
Abu Hamadi dan Munawar Sholeh. Psikologi Perkembangan. Hal. 162
[13]
Abu Hamadi dan Munawar Sholeh. Psikologi Perkembangan. Hal. 164
[14]
Abu Hamadi dan Munawar Sholeh. Psikologi Perkembangan. Hal. 104
[15]
Abu Hamadi dan Munawar Sholeh. Psikologi Perkembangan. Hal. 105
[16]
Uyu Wahyudin dan Mubiar Agustin. Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini. Hal. 42
[17]
Uyu Wahyudin dan Mubiar Agustin. Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini. Hal. 42
[18]
Abu Hamadi dan Munawar Sholeh. Psikologi Perkembangan. Hal. 102
[19]
Abu Hamadi dan Munawar Sholeh. Psikologi Perkembangan. Hal. 103
[20]
Abu Hamadi dan Munawar Sholeh. Psikologi Perkembangan. Hal. 103
[21]
Abu Hamadi dan Munawar Sholeh. Psikologi Perkembangan. Hal. 103
[22]
Abu Hamadi dan Munawar Sholeh. Psikologi Perkembangan. Hal. 103
[23]
Uyu Wahyudin dan Mubiar Agustin. Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini. Hal. 35
[24]
Uyu Wahyudin dan Mubiar Agustin. Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini. Hal. 36
[25]
Uyu Wahyudin dan Mubiar Agustin. Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini. Hal. 37
[27]
Abu Hamadi dan Munawar Sholeh. Psikologi Perkembangan. Hal. 107
[28]
Abu Hamadi dan Munawar Sholeh. Psikologi Perkembangan. Hal. 107
[29]
Abu Hamadi dan Munawar Sholeh. Psikologi Perkembangan. Hal. 108
[30]
Melati Kalimantan. Perkembangan
Psikoseksual Menurut Freud dan Erikson. Melatikalimantan.blogspot.com/ diakses
pada 25 Juni 2014; 19:30 wib
[31]
Melati Kalimantan. Perkembangan
Psikoseksual Menurut Freud dan Erikson. Melatikalimantan.blogspot.com/ diakses
pada 25 Juni 2014; 19:30 wib
[32]
Melati Kalimantan. Perkembangan
Psikoseksual Menurut Freud dan Erikson. Melatikalimantan.blogspot.com/ diakses
pada 25 Juni 2014; 19:30 wib
[33]
Janice, J Beaty. Observasi Perkembangan Anak Usia Dini Edisi ke Tujuh. Jakarta:
Prenadamedia Grup. 2013. Hal. 353
[34]
Janice, J Beaty. Observasi Perkembangan Anak Usia Dini Edisi ke Tujuh. Jakarta:
Prenadamedia Grup. Hal. 352-379
[35]
Janice, J Beaty. Observasi Perkembangan Anak Usia Dini Edisi ke Tujuh. Jakarta:
Prenadamedia Grup. Hal. 388
[36]
Janice, J Beaty. Observasi Perkembangan Anak Usia Dini Edisi ke Tujuh. Jakarta:
Prenadamedia Grup. Hal. 388-415
[37]Danaasee.
Perkembangan kreatifitas Anak Usia Dini. Danaasee.blogspot.com/2013. Diakses
pada 25 Juni 2014; 20:20 wib.
[38]Danaasee.
Perkembangan kreatifitas Anak Usia Dini. Danaasee.blogspot.com/2013. Diakses
pada 25 Juni 2014; 20:20 wib
[39]
Uyu Wahyudin dan Mubiar Agustin. Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini. Hal. 41
[40]
Uyu Wahyudin dan Mubiar Agustin. Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini. Hal. 41
[41]
Uyu Wahyudin dan Mubiar Agustin. Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini. Hal. 41
[42]
Uyu Wahyudin dan Mubiar Agustin. Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini. Hal 42